Mengendap Lindap

Steffi Yosephine
4 min readNov 18, 2020
Photo by Rad Pozniakov on Unsplash

Pekikan peluit disusul dengan roda besi yang bergerak menyentakku dari tidur. Dalam diam aku mengutuk semesta yang tidak bisa sekali saja membiarkanku tenggelam dalam mimpi-mimpi memori yang menyenangkan. Hitam putih tanpa suara dan aku duduk di kursi penonton, menatap layar dengan takzim.

Adegan-adegan pendek di Lviv setengah tahun lalu. Aku dan dia, lelaki beraromakan hujan, berjalan beriringan melintasi rumah-rumah tua bertingkat berdinding kelabu di Ru’ska Street yang sepi dan remang. Sangat kontras dengan hingar bingar dan cahaya lampu pusat kota di ujung jalan yang sedang kami tuju. Toh mereka hidup dengan damai, sama-sama merayakan kutub yang bersandar dan berdempet di masing-masing punggung alih-alih saling melempar cela. Suara converse birunya yang beradu dengan lantai batu, kebiasaanya berdehem setiap lima menit yang sesekali membuatku hampir melompat terkejut, dan tarikan nafasnya seirama dengan degup jantungku yang mengiringi langkah kaki kami membuatku setengah mati ingin menghambur ke pelukannya dan mencuri satu ciuman panjang di bawah bayangan lampu jalan. Memangnya kau siapa? Kutuk suara dalam kepalaku. Cangkir kertas berisi kopi hitam panas yang kugenggam dengan dua tangan menjagaku tetap hangat. Tadinya kami sepakat bertemu di Zolotyi Ducat dan berencana menghabiskan malam di kedai kopi legendaris itu. Hingga ia memberitahuku berita besar itu.

“Pesawatku berangkat besok.” Ujarnya pelan namun cukup membuat isi perutku naik ke kerongkongan. Aku mencoba mengalihkan perhatianku kepada kepulan asap dari secangkir freshkava panas yang ia pesan. Kepalaku makin pening.

“Kau mau kemana?” tanyaku dengan suara tercekat. Kau akan kembali, kan?

“Pulang.” Ia bahkan tak berani menatapku. Aku tak akan pernah melihatmu lagi, ya? Mataku mulai menelusurinya hati-hati. Rambutnya yang sudah tumbuh melebihi daun telinga, caranya duduk yang sedikit bungkuk, kebiasaannya melempar tawa dengan kepala yang sedikit miring ke kiri, bagaimana namaku terdengar dalam suara baritonnya, pola garis di telapak tangannya. Aku hanya mencoba menangkap setiap jengkal dirinya dan menguncinya erat di suatu tempat dalam kotak bernama kenangan. Aku menolak untuk melupakannya. Momen ini yang akan menjadi ingatanku tentang dia. Aku bahkan akan selamanya mengingat aroma biji kopi yang digerus perlahan oleh pemilik kedai karena sumpah, aku tidak akan kembali ke kedai ini tanpanya.

“Sudah berpamitan dengan dia?” kupaksakan senyum sambil menunjuk mural peta kota yang tertera di dinding. Air mataku akan tumpah jika kami duduk berhadap-hadapan lebih lama lagi.

Dan disinilah kami. Berdampingan di bawah salju yang terus turun sejak tiupan pertama terompet tahun baru. Dibandingkan Nona Ru’ska yang sepanjang hari terlelap tak terusik, Rynok Square adalah jantung kota Lviv. Ia selalu dan tak boleh berhenti berdetak. Menghipnotis setiap orang dengan pesona abad 13. Kami duduk di bangku kayu menghadap deretan bangunan berdinding bata dengan jendela asimetris yang catnya telah lama memudar, sedikit demi sedikit mengungkap kisah usang, nama-nama, dan sejarah yang bersembunyi di baliknya kepada para pejalan kaki. Beberapa orang berhenti sejenak di depan Black House yang berdinding hitam legam, salah satu bangunan bersejarah terindah yang mewakili arsitektur Renaisans khas Rynok Square. Tangan-tangan terjulur menyentuh bingkai pintu yang tersusun dari batu pasir dengan warna yang menggelap seiring waktu. Patung Neptune, Diana, Amphitrite, dan Adonis berdiri angkuh di tiap sudut jalan menatap kami dengan penuh tanya, penuh penghakiman. Kami tak bersuara sedikitpun. Tatapannya lurus ke depan, mungkin mencoba mengingat kota ini sebagaimana aku ingin mengingatnya. Demi Tuhan, aku mati-matian menahan mataku yang berair. Sekonyong-konyong ia melompat ke atas bangku. Aku mendongakkan kepala dan melihat senyum lebar di wajahnya. Dia bahagia. Dia bahagia. Tapi kenapa dadaku begini nyeri? Sudah berapa lama ia rindu untuk.. pulang?

“DO POBACHENNYA, LVIV!” suaranya menggema, merambat ke penjuru kota. Beberapa pasang mata menoleh dan terkikik pelan, mengira ia sedang mabuk seperti separuh penduduk kota pada jam-jam segini.

Kurasakan organ dalam tubuhku luluh lantak.

Dua bulang kemudian seorang teman mengirimkan pesan pendek. Memberitahuku bahwa ia baru saja bertemu dengannya yang sedang menjalani ekspedisi ke berbagai pelosok negeri. Pagi berikutnya aku duduk dalam perjalanan 21 jam dengan tujuan akhir Jakarta. Tidak ada yang menyambutku di bandara, sudah terlalu lama aku tak menginjak tanah Indonesia. Keluarga cuma sekumpulan orang asing yang bernama belakang sama denganku. Hanya ada satu dua teman yang masih kukenal dekat. Toh, mereka juga tidak tahu dimana ia sekarang, akupun tidak. Aku tak tahu harus mulai darimana, membeli tiket untuk perjalanan kereta terpanjang melintasi pulau Jawa mungkin bukan keputusan yang benar. Aku tak punya alasan untuk melakukan itu. Aku hanya ingin tenggelam di antara derit lorong besi dan suara anak kecil berlarian di antara kursi penumpang.

Di balik jendela tidak ada karpet salju putih, tidak ada bangunan berlangit-langit tinggi dengan ukiran pada dinding batunya, tidak ada pejalan kaki dengan mantel yang menutupi leher dan boots setinggi lutut. Hanya ada hamparan padi yang menguning dan rumah berdinding bambu yang berjejer di pinggir rel kereta dengan jemuran digantung seadanya di ujung atap seng. Sesekali bau asap rokok kretek tercium saat kereta berhenti sejenak. Kereta kembali bergerak, semakin lama semakin cepat. Lokomotif menyeret gerbong-gerbong berisikan para manusia yang tahu kemana harus pergi. Tidak sepertiku, mereka ingin perjalanan ini lekas berakhir. Mereka rindu seseorang, mereka punya sesuatu untuk diselesaikan, mereka ingin pulang ke rumah. Aku belum memutuskan akan turun dimana. Rumahku berdiri tiga inci lebih tinggi dariku, dengan sepasang mata yang hangat, dan selalu mengingatkanku akan hujan. Mungkin aku separuh berharap akan berpapasan dengannya di suatu tempat. Di suatu kota kecil. Suatu stasiun. Suatu pemberhentian. Lalu aku akan merengkuhnya tanpa meminta.

Fiksi — 2016

--

--

Steffi Yosephine

Digital strategist by day. Illustrator, songwriter, poet, and fandom culture enthusiast by night.